Efisiensi dan Manajemen Fuel Mix Tingkatkan Kinerja Perusahaan

0
551
Share on Facebook
Tweet on Twitter

Jakarta, www.geoenergi.co.id – PT PLN (Persero) telah menerbitkan laporan keuangan per 30 Juni 2016 yang telah diaudit oleh Kantor Akuntan Publik (KAP) Tanudiredja, Wibisana, Rintis & Rekan, Firma anggota jaringan global PwC di Indonesia. Hasil audit menunjukkan bahwa Perseroan selama periode enam bulan tahun 2016 mencapai realisasi kinerja yang lebih baik dibanding periode yang sama tahun sebelumnya.

Pendapatan penjualan tenaga listrik PLN selama enam bulan pada 2016 mengalami kenaikan sebesar Rp3,2 triliun atau 3,15% sehingga menjadi Rp104,7 triliun dibanding periode yang sama tahun lalu sebesar Rp101,5 triliun. Pertumbuhan pendapatan ini berasal dari kenaikan volume penjualan kWh menjadi sebesar 107,2 Terra Watt hour (TWh) atau naik 7,85% dibanding dengan periode yang sama tahun lalu sebesar 99,4 TWh.

Peningkatan konsumsi kWh ini sejalan dengan kenaikan jumlah pelanggan yang dilayani perusahaan sampai dengan akhir bulan Juni 2016 yang telah mencapai 62,6 juta pelanggan atau bertambah 1,4 juta pelanggan dari akhir tahun 2015 yaitu 61,2 juta pelanggan. Bertambahnya jumlah pelanggan ini juga mendorong kenaikan rasio elektrifikasi nasional yaitu dari 88,3 % pada Desember 2015 menjadi 89,5% pada Juni 2016.

Perusahaan dapat melakukan efisiensi dan penghematan sehingga subsidi listrik pada periode enam bulan Tahun 2016 turun sebesar Rp 891 Milyar menjadi sebesar Rp26,6 triliun dibandingkan periode yang sama Tahun 2015 sebesar Rp27,5 triliun.

Seiring dengan meningkatnya produksi tenaga listrik, beban usaha perusahaan naik sebesar Rp1,9 triliun atau 1,66% menjadi Rp119,7 triliun dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar Rp117,8 triliun.

Penambahan beban usaha masih lebih kecil dibanding pertumbuhan pendapatan karena PLN terus melakukan program efisiensi melalui substitusi penggunaan bahan bakar minyak/BBM dengan penggunaan batubara/energi primer lain yang lebih murah, dan pengendalian biaya bukan bahan bakar. Efisiensi terbesar terlihat dari berkurangnya biaya Bahan Bakar Minyak (BBM) sebesar Rp8,4 triliun sehingga pada 2016 menjadi Rp10,4 trilliun atau 44,52% dari tahun sebelumnya Rp18,8 trilliun, terutama dikarenakan penurunan konsumsi BBM 0,6 juta kilo litersehingga pemakaian sampai dengan Juni 2016 sebesar 2,2 juta kilo liter.

EBITDA Perusahaan selama periode enam bulan Tahun 2016sebesar Rp.30,2 triliun, naik sebesar Rp.3,3 triliun dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu sebesar Rp.26,9 triliun. Hal ini menunjukkan peningkatan kinerja PLN dalam melakukan efisiensi dan perbaikan kemampuan pendanaan internal perusahaan. Perbaikan kinerja PLN pada periode enam bulan Tahun 2016, mengantarkan Perseroan untuk dapat mencetak laba bersih sebesar Rp.7.9 triliun.

Pada Tahun 2015, PLN melakukan re-assessment atas Interpretasi Standar Akuntansi Keuangan (ISAK) 8 dan menyimpulkan bahwa perjanjian jual beli tenaga listrik antara PLN dengan perusahaan pengembang listrik swasta (Independent Power Producer/IPP) tidak tepat kalau dicatat seperti transaksi sewa guna usaha. Beberapa alasan bahwa penerapan perjanjian jual beli listrik tidak tepat diperlakukan seperti perjanjian sewa, antara lain : karena penerapan ISAK 8 tidak menggambarkan kondisi yang sebenarnya serta mengabaikan substansi/fakta legal; membuat PLN seolah-olah harus mencatat aset dan hutang IPP di Neraca PLN; dan tidak mencerminkan realisasi kinerja operasi PLN. Sebagian besar pengguna laporan keuangan PLN tidak menggunakan laporan keuangan dengan ISAK-8 yaitu investor global bond, perbankan lokal, otoritas perpajakan, dan BPK-RI dalam perhitungan subsidi listrik.

Selain itu, penerapan ISAK-8 telah meningkatkan beban keuangan Negara yaitu kenaikan subsidi listrik sekitar Rp2 triliun per tahun, dan penurunan potensi penerimaan Negara dari dividen. Disamping itu, dengan penerapan ISAK-8 kemampuan PLN sebagai proxy Pemerintah untuk menjalankan Proyek 35.000 MW dan tugas-tugas selanjutnya menjadi semakin terbatas karena harus memikul beban hutang IPP sekitar USD.40 milyar beberapa tahun kedepan. Selain itu dengan penerapan ISAK 8, hutang valas Indonesia seolah bertambah karena adanya double counting yakni dibuku di IPP dan juga di buku di PLN.

Untuk menghindari perbedaan pendapat dengan akuntan publik, maka Direksi PLN pada tahun 2015 telah mengajukan permohonan kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk diberikan pengecualian (waiver) penerapan ISAK-8. Pihak Pemerintah RI yaitu Menteri BUMN dan Menteri Keuangan telah memberikan dukungan atas posisi PLN, sebagaimana dinyatakan dalam surat Menteri Keuangan kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) nomor S-246/MK/2016 tanggal 5 April 2016 perihal dukungan atas pengecualian penerapan ISAK 8 pada laporan keuangan PT PLN (Persero). Sampai dengan Laporan Keuangan Juni 2016 diterbitkan, OJK belum memberikanpersetujuan atas permohonan PLN tersebut.

Kantor Akuntan Publik Tanudiredja, Wibisana, Rintis & Rekan (PWC) sebagai Auditor Ekternal PLN belum sepakat dengan hasil re-assessment ISAK 8 yang dilakukan oleh PLN, sehingga Laporan Keuangan PLN tahun buku Juni 2016 diterbitkan dengan opini Wajar Dengan Pengecualian (Qualified Opinion). (Pam)

LEAVE A REPLY