Pertamina Harus Lakukan Subsidi Silang untuk Terapkan BBM Satu Harga di Papua

0
265
Share on Facebook
Tweet on Twitter

Yahukimo, www.geoenergi.co.id — Kebijakan satu harga BBM di Papua merupakan suatu hal yang mutlak dilakukan guna mewujudkan sila kelima Pancasila sekaligus mendorong perekonomian Papua ke arah yang lebih baik. Namun, dalam praktiknya, Presiden Joko Widodo menyadari bahwa untuk mewujudkan kebijakan satu harga BBM tersebut dibutuhkan biaya logistik yang cukup besar untuk menyalurkan BBM tersebut ke wilayah Papua yang masih sulit dijangkau oleh layanan transportasi umum.

Sebagaimana yang sebelumnya dilaporkan Direktur Utama Pertamina, bila kebijakan tersebut diterapkan di Papua, maka Pertamina akan menderita kerugian sebesar Rp 800 miliar rupiah.

Meski demikian, Presiden Joko Widodo bertekad untuk mewujudkan kebijakan tersebut dan menginstruksikan Pertamina untuk mencari solusinya. Salah satu solusi yang disebutkan Presiden ialah dengan melakukan subsidi silang dengan memanfaatkan kompensasi dari usaha-usaha milik Pertamina lainnya.

“Saya sampaikan, ini bukan masalah untung dan rugi. Ini masalah keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Jumlah 800 miliar itu terserah dicarikan subsidi silang dari mana, itu urusan Pertamina. Tapi yang saya mau ada keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Sehingga harganya sekarang di seluruh kabupaten yaitu 6.450 rupiah per liter untuk premium,” tegas Jokowi di Bandar Udara Nop Goliat Dekai, Yahukimo, Provinsi Papua, Selasa (18/10).

Harga BBM Premium di Papua sebelumnya berkisar antara Rp 25 ribu sampai Rp 55 ribu per liter, bahkan pernah mencapai Rp 150–200 ribu per liter. Hal tersebut akibat belum adanya moda transportasi yang dedicated.

Presiden meyakini Pertamina mampu mengemban tugas ini dengan baik melalui efisiensi tanpa mengurangi keuntungan yang ada. Terlebih bila mengingat kemudahan-kemudahan yang telah diberikan pemerintah kepada Pertamina dalam menjalankan bisnisnya. “Sebagai BUMN, Pertamina juga sudah banyak memperoleh hak-hak istimewa untuk berbisnis. Jadi wajar pemerintah memerintahkan untuk mengemban tugas mewujudkan keadilan di harga BBM,” ucapnya.

Tentunya upaya mewujudkan kebijakan BBM satu harga di Papua dan Papua Barat tersebut tidak melulu menjadi tanggung jawab pemerintah dan BUMN saja, tapi juga memerlukan kerja sama dari berbagai pihak. Pemerintah daerah misalnya, Presiden meminta pemerintah daerah untuk turut berperan serta mengawasi pelaksanaan kebijakan tersebut di lapangan.

“Kadang-kadang kebijakan itu pelaksanaan di lapangan tidak diikuti. Bisa terjadi salah pengertian. Kapolda di sini juga harus ikut mengawasi betul-betul harga itu memang sampai di masyarakat,” terangnya.

Selain itu, Presiden juga meminta Pertamina untuk menyoroti harga BBM di tingkat penyalur dan pengecer. Presiden tidak menginginkan terjadinya kenaikan harga yang terlalu besar bila BBM tersebut telah sampai di tangan masyarakat.

“Saya juga titip, harga di APMS (Agen Penyalur Minyak dan Solar) saya harapkan juga sama ketika sampai di masyarakat. Jangan sampai nanti dibeli segelintir orang untuk dijual lagi dengan harga yang berbeda. Itu yang saya tidak mau. Harganya harus harga di masyarakat, jadi cara penyalurannya harus benar,” ucapnya.

Presiden pun memastikan bahwa dirinya akan selalu memantau harga-harga di tingkat penyalur dan pengecer di Papua. Terhadap semua kabupaten ataupun wilayah yang ada di Papua, Presiden kembali menegaskan bahwa hanya satu harga BBM yang berlaku. “Saya selalu cek kalau ada hal-hal seperti ini sehingga masyarakat mendapatkan harga yang sama. Seperti di Paniae, Intan Jaya, Puncak Jaya, Pegunungan Bintan, di Jayawijaya, dan Lani Jaya saya harapkan juga sama,” tegasnya.

Untuk itu, Presiden Joko Widodo meminta kebesaran hati dan kesadaran dari masyarakat untuk bersama-sama mewujudkan kebijakan satu harga BBM tersebut. Dirinya masih memberikan toleransi terhadap kenaikan harga BBM di tingkat pengecer selama masih berada dalam batas kewajaran.

“Di luar pom bensin harganya naik sedikit wajar karena ada yang mengambil keuntungan. Tapi kalau harganya (premium) kemudian menjadi 25 ribu per liter, itu tidak wajar. Harganya ada yang 40 ribu itu juga tidak wajar karena belinya hanya 6.450 rupiah per liter. Itu yang menjadi catatan saya,” ujar Presiden. (pam)

LEAVE A REPLY