Marwan Batubara: Akuisisi atau Sinergi PGE oleh PLN??

0
412
Share on Facebook
Tweet on Twitter
foto: Ist

Jakarta, www.geoenergi.co.id – Setelah lebih dari 3 bulan sejak Menteri BUMN Rini Soemarno mencetuskan rencana akusisi PGE oleh PLN pada 12 Agustus 2016 yang lalu, belum terlihat jadwal yang jelas kapan rencana tersebut akan direalisasikan. Rini menyebutkan penggabungan PGE ke PLN, dengan pemilikan saham masing-masing 50%, akan menciptakan simbiosis mutualisme kedua BUMN guna mengoptimalkan pembangunan PLTP nasional. Dirut PLN Sofyan Basir mengatakan merger kedua BUMN akan membuat harga uap bagi PLTP turun, sehingga harga listrik juga akan ikut turun.

Pada 13 Oktober 2016, Deputi Bidang Energi, Logistik dan Pariwisata Kementerian BUMN Edwin Abdullah mengatakan bahwa rencana yang akan dilakukan bukan akuisisi, melainkan sinergi antara PLN dengan PGE. Kementerian BUMN mempertimbangkan, dari pada memiliki banyak BUMN dengan skala yang kecil-kecil, akan lebih baik jika Indonesia memiliki satu BUMN yang besar dan kuat. Jadi nantinya tidak ada lagi negosiasi harga uap antara PGE dan PLN. Dikatakan, dengan sinergi akan terbentuk satu perusahaan BUMN yang mempunyai kekuatan untuk mengembangkan energi geothermal nasional.

Itulah pendapat yang dilontarkan Marwan Batubara, Direktur Eksekutif IRESS di acara Media Briefing tentang Bisnis Geothermal dan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP), yang diselenggarakan di Jakarta, Selasa, 22 November 2016. Lebih jauh Marwan juga menyatakan bahwa konsep sinergi belum jelas.

Dia melanjutkan mungkin gagasan yang dicetuskan oleh Edwin Abdullah untuk mendirikan sebuah BUMN khusus geothermal cukup ideal bagi pengembangan PLTP di Indonesia. “Namun demikian, konsep tersebut sebenarnya berbeda dengan ide awal yang dicetuskan oleh Menteri Rini, dimana tujuannya adalah ingin menggabungkan PGE ke PLN. Sehingga BUMN baru tersebut kelak berada di bawah kendali PLN. Terlihat adanya perbedaan sikap kedua pejabat Kementerian BUMN,” kata Marwan.

foto: istimewa
foto: istimewa

Pada pertemuan dengan Serikat Pekerja PGE pada 15 November 2016, imbuh Marwan. “Menteri Rini Soemarno mengatakan bahwa yang direncanakan KBUMN adalah PLN akan mengambilalih 30% saham PGE. Pernyataan Rini ini berbeda dengan gagasan yang diungkap pertama kali pada 12 Agustus 2016, dimana dikatakan KBUMN ingin PLN menguasasi 50% saham PGE. Di sini kembali kita melihat sikap yang tidak konsisten,” ujar Marwan.

Kemudian cerita Marwan lagi, pada Seminar tentang Bisnis Geothermal 13 Oktober 2016 di Gedung MPR, Edwin Abdullah pernah mengatakan bahwa yang akan dilakukan adalah penggabungan dengan sistem inbreng atau pengalihan aset. Dikatakan, dalam hal ini PLN tidak perlu menyiapkan uang untuk aksi korporasi, karena kedua penggabungan kedua BUMN merupakan kewenangan pemerintah. Konsep inbreng yang disebutkan Edwin ini jelas berbeda dengan konsep simbiosis yang dicetuskan oleh Menteri Rini.

“Memperhatikan sikap yang tidak konsisten di atas, publik dapat menilai bahwa KBUMN belum mempunyai konsep yang jelas tentang rencana penggabungan atau sinergi yang diinginkan. Selain itu, bisa saja ada anggapan bahwa KBUMN sedang melakukantest the water, sehingga mudah berubah sikap setelah ide akuisisi mendapat banyak pertanyaan. Karena itu, sebelum langkah merger atau penggabungan dilakukan, KBUMN perlu lebih dulu menyiapkan konsep yang jelas dan dibuka kepada DPR dan publik,” cetus Marwan.

Analisis dan sikap IRESS

Dalam sektor kelistrikan saat ini sedang terjadi peningkatan dominasi listrik swasta (Independent Power Producer, IPP) melalui proyek pembangkitan tenaga listrik35.000 MW, serta penguasaan investor asing dan swasta yang lebih dominan dibanding BUMN dalam penyediaan PLTP. Dengan skema take or pay yang berlaku saat ini, ditambah dengan penentuan reserve margin yang berlebihan, maka lambat laun biaya pokok penyediaan (BPP) listrik akan semakin tinggi, sehingga konsumen listrik pun harus membayar tarif listrik yang lebih mahal.

“Terkait hal di atas, IRESS mendukung rencana pemerintah yang ingin membentuk BUMN geothermal yang besar di Indonesia. Apalagi hal tersebut merupakan amanat Pasal 33 UUD 1945. Sebagai pemilik SDA geothermal, tentu saja rakyat akan mendukung jika pengelolaannya berada di tangan BUMN secara dominan. Hal ini sekaligus akan menjadi koreksi atas dominasi BUMN yang minim di sektor migas (sekitar 20%) atau sektor minerba (sekitar 10%). Namun pelaksanaannya dapat dilakukan oleh PGE sendiri, tanpa harus melibatkan PLN yang sepatutnya berkonsentrasi di sisi hilir,” ujar Marwan.

Marwan pun mengungkapkan, IRESS menganggap bahwa dominasi IPP dalam penyediaan listrik nasional merupakan kondisi serius yang mendesak untuk diperbaiki. Oleh sebab itu, dibanding membebani dengan tambahan tugas di sisi hulu melalui pembentukan BUMN baru bersama PGE, justru jauh lebih mendesak bagi PLN untuk meningkatkan dominasi pembangunan pembangkit listrik di sisi hilir. Misalnya dalam proyek 35.000 MW, PLN harus ditugasi oleh pemerintah untuk membangun 25.000 MW dibanding hanya sekitar 5.000 MW pada saat ini.

“BUMN geothermal yang besar dapat terbentuk jika pemerintah memberi lebih banyak penugasan kepada PGE untuk mengelola lapangan-lapangan geothermal yang potensial. Pemerintah seharusnya menyiapkan anggaran subsidi khusus di APBN untuk mendanai kegiatan eksplorasi lapangan geothermal bagi BUMN. Pemerintah pun seharusnya memberi jaminan atas pinjaman yang dilakukan BUMN untuk pengembangan PLTP,” jelasnya.

Terkait masalah harga jual uap atau listrik yang disebutkan Menteri Rini atau Deputi Meneg BUMN sering menjadi penghambat, mestinya pemerintah menggunakan wewenang yang dimiliki untuk menetapkan harga. Hak pemerintah tersebut dijamin oleh Pasal 22 UU No.21/2014, dan tidak ada opsi bagi BUMN untuk tidak mematuhi. Kementrian ESDM pun telah mempersiapkan Permen tentang metode sliding tariff yang tidak lagi memerlukan negosiasi harga. Sehingga negosiasi harga yang disebutkan sebagai penghambat pengembangan PLTP tidak lagi relevan menjadi alasan untuk dilakukannya merger.

Kementerian BUMN menyatakan penggabungan PGE ke PLN akan mempercepat pengembangan PLTP. Padahal pengembangan panas bumi merupakan proses standard yang sulit dipercepat karena adanya merger. Malah sebaliknya, hal tersebut dapat memperlambat pengembangan karena proses birokrasi pengambilan keputusan akan lebih panjang mengingat akan adanya keterlibatan manajemen PLN.

“IRESS cukup khawatir tentang adanya agenda tertentu dibalik rencana pengambilalihan saham PGE, misalnya keinginan PLN untuk meningkatkan leverage guna meningkatkan kemampuan keuangan korporasi. Jika hal tersebut benar, maka prosesnya harus dilakukan secara terbuka dan berbagai persyaratan yang dibutuhkan untuk maksud tersebut atas perusahaan yang telah menerbitkan obligasi seperti Pertamina dan PLN harus dipenuhi,” katanya.

Pembentukan BUMN khusus geothermal dapat pula mengarah pada langkah lebih lanjut berupa penawaran saham kepada publik (IPO) di bursa saham. Jika langkah tersebut akhirnya diambil, maka tidak tertutup kemungkinan bahwa lamban laun pemilikan pemerintah di BUMN tersebut akhirnya akan menjadi minoritas, sehingga penguasaan negara atas SDA sesuai Pasal 33 UUD 1945 akan hilang. Oleh sebab itu, tentu saja rencana penguasaan saham PGE oleh PLN tersebut harus ditolak. (Pam)

LEAVE A REPLY