Skema Gross Split Rugikan Tenaga Kerja Indonesia di Sektor Migas

0
455
Share on Facebook
Tweet on Twitter
foto: istimewa

Jakarta, www.geoenergi.co.id – Rencana Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral menerbitkan Peraturan Menteri untuk menerapkan skema ‘gross split’ untuk kontrak bagi hasil minyak dan gas bumi mengancam tenaga kerja Indonesia yang bekerja di Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) maupun di sub kontraktornya karena tidak ada lagi perlindungan dari Negara terhadap tenaga kerja di sektor tersebut.

Hal terebut ditegaskan oleh Konfederasi Serikat Pekerja Nasional (KSPN) yang tengah melakukan Kajian Revolusi Migas terkait dengan proses Revisi Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi yang saat ini tengah dalam proses pembahasan di Dewan Perwakilan Rakyat dan menjadi inisiatif lembaga tinggi Negar tersebut.

“Kami telah mengkaji skema ‘Gross Split’ dibandingkan dengan skema ‘Cost Recovery’ dalam kontrak bagi hasil di sektor hulu migas, hasilnya skema ‘Gross Split’ sangat merugikan pekerja khususnya pekerja di sektor hulu minyak dan gas bumi karena Negara tidak mungkin lagi mengintervensi kebijakan dari Kontraktor Kontrak Kerja Sama,” kata Muhamad Ichsan, Bidang Pengembangan Organisasi Dewan Pimpinan Pusat KSPN di Jakarta, Jumat (9/12).

Dia memberikan contoh saat PT Chevron Pacific Indonesia yang mengelola blok minyak dan gas bumi di Riau ingin melakukan Pemutusan Hubungan Kerja terhadap 1.500 karyawannya dengan alasan harga minyak turun, hal itu bisa dicegah oleh Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) dengan tidak menyetujui rencana pemecatan massal tersebut sebagai perwakilan Negara yang melindungi tenaga kerja Indonesia di sektor hulu minyak dan gas bumi.

“Bayangkan nanti dalam sistem ‘Gross Split’ dimana Negara tidak dapat lagi mengintervensi kebijakan yang akan diterapkan oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama terhadap pekerja di sektor hulu migas maka tidak akan ada lagi Negara, dalam hal ini direpresentasikan oleh SKK Migas, yang bisa mencegah niat kontraktor tersebut. Kemungkinan akan ada puluhan ribu pekerja di sektor minyak dan gas bumi yang bisa dipecat sepihak tanpa perlindungan tangan Negara,” jelas Ichsan.

Dengan konsep tersebut, dikhawatirkan akan membuat kegaduhan baru di sektor hulu minyak dan gas bumi dan bisa menjadi beban tambahan untuk Ignasius Jonan sebagai Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang belum lama menjabat. Hal ini dapat memperburuk kinerja Menteri ESDM.

Selain hal tersebut, Ichsan menjelaskan sejumlah kerugian lain bagi pekerja di sektor hulu migas jika menggunakan sistem ‘Gross Split’ dalam kontrak bagi hasil adalah sebagai berikut:
1. Tidak ada kontrol Negara terhadap jumlah penggunaan Tenaga Kerja Asing di Kontraktor Kontrak Kerja Sama
2. Negara tidak lagi bisa mengintervensi kebijakan Kontrkator Kontrak Kerja Sama terkait status pekerja di sektor hulu migas
3. Pekerja tidak mendapat perlindungan dari Negara yang selama ini fungsinya dilakukan oleh SKK Migas
4. Tidak ada pengawasan dan pengendalian terhadap standar kesejahteraan minimum yang harus dipenuhi investor
5. Proses pengurangan pekerja, Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), dilakukan secara legalistik tanpa pertimbangan lain seperti kepentingan nasional
6. Sulit menyatukan suara dalam proses tripatrit nasional terkait pemberlakuan regulasi ketenagakerjaan karena karakteristik pemberlakuan regulasi ketenagakerjaan karena karakteristik sektor minyak dan gas bumi yang berbeda dengan sektor lain.

Dengan hasi kajian terhada skema ‘Gross Split’ yang ternyata banyak merugikan tenaga kerja Indonesia dibandingkan dengan skema ‘Cost Recovery’ maka KSPN menyatakan menolak pemberlakukan skema ‘Gross Split’ dalam kontrak bagi hasil di sektor hulu minyak dan gas bumi.

“Kami tegaskan bahwa kami menolak pemberlakuan skema ‘Gross Split’ karena hanya akan merugikan tenaga kerja Indonesia di sektor hulu minyak dan gas bumi,” tutup Ichsan. (Pam)

LEAVE A REPLY