STT PLN Olah Sampah Jadi Listrik

0
162
Share on Facebook
Tweet on Twitter

Jakarta, www.geoenergi.co.id – Sekolah Tinggi Teknik PLN (STT PLN) meluncurkan Program Vokasi Ketenagalistrikan dan Inisiatif Listrik Kerakyatan untuk membantu ketahanan energi nasional yang ramah iingkungan dengan memberdayakan masyarakat. Model pembelajaran dan karya penelitian yang sangat dibutuhkan tersebut diresmikan hari ini dalam acara ”Karya Untuk Negeri” yang diadakan di Sasana Kriya Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Jakarta, Kamis (18/5).

“Kita membutuhkan sekitar 700.000 tenaga operator dan teknisi untuk mengoperasikan dan memelihara sekitar 80.000 megawatt instalasi listrik yang akan dibangun sampai tahun 2025. Jumlah ini harus dipenuhi dengan cara mendidik masyarakat kita sendiri, dengan partisipasi kalangan akademis di seluruh Indonesia bekerjaama dengan Lembaga Sertifikasi Kompetensi,” kata Ketua STT PLN, Supriadi Legino.
20170518_103657

Dia menjelaskan, kebutuhan tenaga teknik yang sangat besar tersebut disikapi STT PLN dengan membuka pendidikan dan latihan vokasi ketenagalistrikan bagi para lulusan SMU dan setara. Para siswa akan dilatih selama satu tahun sehingga layak mendapatkan sertifikasi kompetensi sesuai dengan amanat Undang-Undang Ketenagalistrikan No.30 Tahun 2009.

“PLN membuka kesempatan bagi lulusan SMA dan sederajat dari seluruh Indonesia untuk mendaftarkan diri. Mahasiswa akan dibekali dengan pengalaman praktek yang cukup sehingga begitu Iulus dapat langsung bekerja sebagai operator atau teknisi di perusahaan pembangkit listrik,” tuturnya.

Terkait dengan listrik kerakyatan, karya kedua yang diluncurkan pada hari ini adalah Inisiatif Listrik Kerakyatan (LK) yang ramah lingkungan, sebagai alternatif untuk menjawab berbagai dilema pada sistim ketenagalistrikan saat ini. Kelistrikan konvensional terpusat dan terinterkoneksi merupakan sistim yang efisien dan handal, namun mulai menghadapi persoalan dalam pembangunannya terutama mengenai pembebasan lahan dan pendanaan. Akibatnya banyak proyek pembangunan pembangkit dan transmisi yang terlambat dan mengakibatkan kerugian yang bisa menganulir keuntungan yang diperoleh dari sistim interkoneksi.

”Sebagai solusi, model Listrik Kerakyatan dapat mulai diterapkan. LK mengadopsi konsep distributed generat/on atau pembangkitan skala kecil yang tersebar, yang dapat dibangun pada lahan kurang dari 1000 m2,” kata Supriadi.

Menurutnya, LK memiliki filosofi 1000×1 1×1000. Artinya membangun 1 unit 1000 MW oleh investor raksasa yang sarat dengan masalah, sama hasilnya dengan membangun pembangkit berkapasitas 1MW yang lebih sederhana dan bisa dikerjakan Iebih cepat secara gotong royong oleh 1000 pengusaha lokal.

Supriadi yakin dengan berkembangnya LK, maka laju defisit energi listrik yang saat ini masih terjadi di Iuar Jawa bisa diperlambat. LK juga merupakan jawaban untuk penyediaan listrik daerah terisolir dan pulau-pulau terluar yang terlalu mahal biayanya apabila dibangun dengan sistim konvensional.

“Yang pasti, LK memberi keuntungan berupa peluang bagi ribuan pengusaha kecil di setiap daerah untuk menjadi pengembang listrik swasta yang selama ini hanya didominasi oleh pemodal raksasa dan pihak asing. Dampak positif berikutnya adalah terbukanya lapangan kerja dalam bidang ketenagaIistrikan bagi masyarakat di tingkat pedesaan.”

Energi Terbarukan

Listrik Kerakyatan menggunakan energi terbarukan yang ada di sekitar masyarakat yaitu matahari, angin, biogas, dan biomasa sampah untuk perkotaan dan pohon Kaliandra merah untuk di pedesaan. Dengan demikian LK bisa menghemat penggunaan sumber daya fosil dan mengurangi pemanasan global. Program LK di perkotaan lebih diprioritaskan untuk pengembangan model TOSS (Tempat Olah Sampah Setempat) sehingga persoalan sampah bisa diselesaikan secara gotong royong. Selain itu, frekuensi truk pengangkut sampah ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) akan banyak berkurang.

Kelayakan keuangan merupakan daya tarik bagi pengusaha lokal dan menjadi kunci keberlanjutan program LK. Untuk itu pemerintah harus menjadi fasilitator agar para pengusaha lokal dan koperasi yang berminat membangun LK bisa mendapatkan pemasukan yang memadai dari penjualan energi dan kompensasi pengolahan sampah (tipping fee).

Opsi lainnya adalah menyalurkan sebagian dana bantuan sosial dan kredit murah untuk investasi LK bagi pengusaha kecil setempat yang ingin menjadi pengembang listrik kerakyatan. Menurut kajian awal, biaya investasi spesifik untuk paket 2 ton sampah per hari adalah Rp 400 juta rupiah dan biaya operasinya sekitar Rp 90 juta setahun. Dengan pendapatan dari tipping fee yang sama dengan yang dikeluarkan Pemda selama ini dan dari penjualan energi listrik berdasarkan ketentuan pemerintah, maka paket tersebut bisa balik modal dalam waktu kurang dari 5 tahun. Selain itu akan ada tambahan penghasilan dari penjualan sampah berharga dan pupuk. Tentunya dengan mekanisme lnsentif berupa bunga bank yang rendah, LK dapat menjadi peluang bisnis yang menarik dan terbuka luas bagi masyarakat.

Melalui ”Karya Untuk Negeri” ini, STT PLN menghimbau pemerintah untuk mendukung pelaksanaan uji coba lebih lanjut dan mengajak sebanyak mungkin kalangan akademis dan instansi baik pemerintah maupun swasta beserta koperasi untuk bergotong royong membangun dan menyempurnaan model LK ini untuk menjawab berbagai permasalahan energi dan lingkungan yang dihadapi negara ini.(Pam)

LEAVE A REPLY