Revisi UU Migas Jadi Utang DPR

0
499
Share on Facebook
Tweet on Twitter
foto: istimewa

Jakarta, www.geoenergi.co.id – Revisi UU Migas juga sepatutnya diarahkan pada upaya pembenahan tata kelola migas sebagai akar masalah turunnya investasi dan produksi migas nasional belakangan ini. Sebagai payung hukum bagi semua regulasi dan kebijakan sektor yang ada ada, RUU Migas yang baru harus dapat memfasilitasi adanya kepastian hukum dan penghormatan terhadap kontrak-kontrak yang sudah ada, kelembagaan pengelola migas beserta pola koordinasi antarinstansi termasuk peran Pemerintah Daerah, kebijakan fiskal industri migas yang lex specialist, serta adanya fleksibilitas terhadap perubahan-perubahan yang diperlukan oleh industri migas. Namun sayangnya berbagai upaya yang sudah dilakukan Pemerintah untuk memperbaiki iklim investasi migas saat ini seolah belum berimbas pada peningkatan investasi dan kinerja sektor hulu migas itu sendiri.   

“Secara umum memang sudah ada perbaikan iklim usaha di Indonesia. Hal ini tercermin dari peringkat kemudahan berusaha Indonesia (Ease of Doing Business) 2018 yang mengalami kenaikan. Di 2018, Indonesia berada pada posisi 72 dari 190 negara. Posisi itu naik dari sebelumnya yaitu peringkat 91 pada 2017 dan 106 pada 2016. Namun, hal itu tidak tercermin di sektor hulu migas. Bahkan seolah bertolak belakang dengan perbaikan peringkat tersebut,” kata Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, Satya Widya Yudha dalam Media Briefing bertajuk “RUU Migas: Masa Depan Migas Indonesia yang Lebih Baik” di Jakarta, Rabu (28/02).

Pun, bila merujuk pada survei dari Fraser Institute di pertengahan 2017, iklim investasi migas di Indonesia ternyata masih kalah menarik dibanding banyak negara lain di dunia. Penilaian ini mengelompokkan Indonesia ke dalam 10 negara dengan tingkat iklim investasi terburuk bersama Venezuela, Bolivia, Libya, Irak, Ekuador,  Kamboja, Prancis dan Yaman. Begitu juga bila dibandingkan dengan negara-negara tetangga, Indonesia tetap terpuruk di posisi buncit.

Data itu, imbuh Satya, harus menjadi alarm bagi Indonesia untuk segera berbenah. Menurutnya, upaya perbaikan daya saing investasi di sektor hulu migas harus muncul dari dua sisi yakni dari sisi regulasi dan industri. 

“Daya saing itu harus muncul dari pemerintah dan dunia usaha. Pemerintah memperbaiki berbagai regulasi sementara dunia usaha melakukan pembenahan kinerja sehingga operasional perusahaan semakin efisien,” paparnya. 

Regulasi yang jelas akan memberi kepastian hukum yang akan menjamin terciptanya stabilitas bisnis dan investasi. UU Migas sebagai payung hukum akan memberi kepastian hukum yang merupakan salah satu elemen terpenting untuk memastikan kegiatan bisnis hulu migas yang merupakan investasi jangka panjang dapat berjalan dengan baik dan sekaligus memperbaiki iklim investasi.

Ia pun mengakui RUU Migas hasil revisi UU 22/2001 menjadi kebutuhan mendesak pelaku usaha karena akan memunculkan iklim investasi hulu migas yang kondusif. Sayangnya hingga saat ini posisi hal itu masih diproses di Badan Legislatif (Baleg) DPR. Hal ini terkait alotnya pembahasan ataupun sinkronisasi pemahaman mengenai Badan Usaha Khusus (BUK) yang melibatkan dua Komisi DPR, yaitu Komisi VII dan Komisi VI. Pasalnya, BUK (konsep dari Komisi VII) mengintegrasikan sektor hulu dan hilir, diantaranya SKK Migas dan BPH Migas yang fungsinya tetap sama. Sementara konsep dari Komisi VI, induk usaha (holding) merupakan milik Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sektor migas.

“Revisi UU Migas memang masih menjadi utang bagi anggota DPR periode 2014-2019. Tentu kami akan berupaya maksimal untuk bisa meloloskannya sebagai undang-undang migas baru yang akan menjadi payung hukum bagi tata kelola sektor migas dan energi di Indonesia ke depannya,” tandasnya. (Pam)

LEAVE A REPLY