Jakarta, GEO ENERGI – Serikat Pekerja PLN menilai Mahkamah Konstitusi (MK) melakukan standar ganda dalam perubahan putusan UU No. 20/2002 tentang Ketenagalistrikkan. Pada Januari 2010, MK menyatakan unbundling diperbolehkan, setelah sebelumnya mengharamkannya pada Desember 2004.
Pada 15 Desember 2004, MK mengabulkan permohonan Judicial Review UU No. 20/2002 yang diajukan Serikat Pekerja PLN. Isi UU tersebut adalah penerapan tarif listrik secara liberal di Jawa-Bali, dengan sistem unbundling vertical. Di sana ada pemecahan fungsi pembangkit, transmisi, distribusi, dan retail secara terpisah oleh badan usaha yang berbeda-beda.
“Awalnya MK sudah mengabulkan gugatan kami, karena memang bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) UUD 1945. Selain itu, kami hadirkan pula ahli dari Filipina yang saat itu menganut sistem unbundling vertical, yang membuktikan sistem itu merugikan masyarakat banyak dan mengancam perekonomian,” kata Ketua Dewan Pembina SP PLN, Ahmad Daryoko di Kantor PLN, Jakarta (16/6).
Dikatakan saksi ahli, sistem itu bakal merusak perekonomian. Tarif listrik yang dapat dengan mudah dipengaruhi pihak yang memegang masing-masing fungsi PLN tidak menjamin daya beli masyarakat. Pabrik bisa tutup dan menciptakan pengangguran.
Tetapi, ia menjelaskan, pada 2010 keputusan itu berubah dengan alasan pada UU No.30/2009 disebutkan ada wewenang pemerintah dapat mengatur tarif di sistem unbundling vertical ini.
“Di UU No.20/2002 yang sebelumnya ditolak MK, juga disebutkan bahwa negara dapat mengatur tarif. Tapi karena terbukti akan merugikan masyarakat, MK pada saat itu menganggap undang-undang tersebut haram,” jelas Daryoko.
Ia menyatakan bakal menggelar apat dengan SP PLN untuk melakukan public examination atas saran advokasi. Di mana akan diadakan seminar dan diskusi untuk menyampaikan pelanggaran sistem ini.
“Kabarnya sistem ini sudah akan dimulai, kami tidak mau rakyat baru sadar saat sistem ini sudah berjalan. Kita akan buat MK mengharamkan lagi undang-undang tersebut dengan menggunakan uji publik,” pungkasnya.(GDH)