Pembangkit Listrik Tenaga Thorium Lebih Ramah Lingkungan

0
293
Share on Facebook
Tweet on Twitter
foto: BATAN

Yogyakarta, www.geoenergi.co.id – Wacana pembangunan pembangkit listrik tenaga thorium, atau di Indonesia dikenal dengan istilah PLTT belakangan ramai diperbincangkan sebagai energi alternatif. Selain potensi kandungan thorium di Indonesia lebih banyak daripada uranium, bahan bakar reaktor nuklir thorium diklaim banyak pihak lebih ramah lingkungan dan risiko kemungkinan limbahnya dapat digunakan sebagai senjata nuklir sangat rendah. Bisakah potensi thorium dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi ke depannya?

Sebagai lembaga yang bergerak di bidang penelitian dan pengembangan nuklir, Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) bertugas untuk memberikan rekomendasi terbaik sesuai dengan kondisi sebenarnya kepada pemerintah mengenai pemilihan teknologi. Kepala BATAN, Djarot Sulistio Wisnubroto mengatakan di Yogyakarta, beberapa hari lalu, teknologi pembangkit listrik berbahan bakar thorium sebenarnya bukanlah teknologi baru. PLTT pernah dikembangkan pada tahun 1965 hingga 1969 di Oak National Laboratory, Amerika Serikat dengan memanfaatkan thorium dalam bentuk cair yang disebut Molten Salt Reactor (MSR). Namun program tersebut dihentikan oleh Amerika Serikat yang lebih memilih tetap menggunakan uranium karena bahan bakar bekasnya masih berpotensi menghasilkan plutonium. Plutonium dapat digunakan sebagai bahan senjata nuklir.

Selain itu, India dan Tiongkok adalah dua negara yang giat mengembangkan riset reaktor berbahan bakar thorium. India tidak menandatangani traktat non proliferasi (pembatasan senjata nuklir) sehingga relatif sulit mendapatkan uranium dari negara lain, disamping sebagai negara yang memiliki sumber daya thorium melimpah. Sedangkan Tiongkok mulai mengembangkan reaktor garam cair thorium (Thorium Molten Salt Reactor/TSMR), dengan tahapan hasil jangka menengah dapat membangun 1 reaktor riset pada tahun 2017, diikuti pembangunan reaktor demo 20 megawatt dan 100 megawatt pada tahun 2035.

Di Indonesia, pendataaan sumber daya thorium sudah dilakukan sejak 30 tahun lalu. Hasil studi BATAN tahun 2015 menunjukkan, potensi kandungan thorium di Indonesia sebesar 130.974 ton dan uranium sekitar 74.397 ton. Potensi tersebut ditemukan di beberapa daerah, antara lain Pulau Singkep, Bangka Belitung, Kalimantan Barat, dan Sulawesi Barat. Walaupun potensinya besar, Djarot menegaskan, opsi thorium masih memerlukan pemahaman dan kematangan teknologi baik siklus bahan bakar thorium maupun pengelolaan limbah.

“Yang harus diingat, membangun reaktor lebih mudah daripada fuel cycle- nya, bagaimana siklus bahan bakarnya termasuk mengelola limbahnya,” ujar Djarot seperti dilansir di laman BATAN.

Thorium sendiri merupakan bahan yang tidak bisa langung siap digunakan sebagai bahan bakar seperti halnya uranium. Thorium hanya bisa bereaksi nuklir jika dipicu dengan bahan bakar nuklir lain seperti uranium-235, uranium-233, dan plutonium-239.

Saat ini, BATAN telah menguasai teknologi pengolahan bijih thorium dengan dibangunnya dibangunnya pilot plant pemisahan thorium, uranium dan logam tanah jarang yang terdapat pada pasir monasit hasil sisa pertambangan timah, bekerja sama dengan PT. Timah di Muntok, Bangka Barat, dan membangun pilot plant di BATAN Ps. Jumat, Jakarta dengan skala yang lebih besar.

Kemudian BATAN mengembangkan pilot plant pemisahan logam tanah jarang menjadi unsur-unsur lainnya seperti Lantanum (La), Cerium (Ce), dan Neodinium (Nd), yang diresmikan oleh Kepala BATAN bersamaan dengan Workshop Presentasi Hasil Litbang Thorium Lokal dan Prospek Litbang Ke Depan, yang digelar di Pusat Sains dan Teknologi Akselerator (PSTA) BATAN, Yogyakarta (04/12). Unsur-unsur tersebut sangat dibutuhkan di industri elektronik, otomotif, pertahanan, dan bernilai ekonomi sangat tinggi.

Selain itu, Kepala PSTA, Susilo Widodo mengatakan, PSTA berhasil mengiradiasi thorium menjadi uranium yang merupakan cikal bakal penguasaan teknologi jika kelak pemerintah mengambil opsi PLTT. Selain menghasilkan uranium yang dapat digunakan sebagai bahan bakar, thorium menghasilkan molibdenum (Mo) yang bisa menjadi salah satu bahan untuk kegiatan medis. Dikatakan Susilo, 0,1 gram thorium setelah “ditembak” dengan neutron menghasilkan uranium 20 ppm (20 bagian per juta) jika dilakukan di Reaktor Kartini BATAN Yogyakarta. Hasil ini kemungkinan dapat lebih baik jika dilakukan di reaktor riset G.A. Siwabessy BATAN, Serpong yang memiliki kapasitas lebih besar.

Djarot kembali menegaskan, selain membutuhkan berbagai tahapan penguasaan teknologi, pemilihan thorium sebagai bahan bakar juga perlu dilihat dari parameter regulasi, anggaran, dukungan dari pemerintah dan stakeholder serta dukungan internasional, agar teknologi ini tidak hanya sekedar dongeng untuk diwujudkan.

“Mari kita letakkan prospek dan program PLTT pada time frame yang tepat”, tuturnya. (pam)

LEAVE A REPLY