Membaca Arah APBN 2017

0
290
Share on Facebook
Tweet on Twitter
ilustrasi: istimewa

Jakarta, www.geoenergi.co.id – Universitas Pertamina menggelar kegiatan workshop terkait Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada Jumat, 20 Januari 2017 di Kampus Universitas Pertamina, Simprug, Jakarta Selatan. Workshop dinarasumberi oleh Akbar Nikmatullah Dachlan, Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Pertamina. Workshop mengusung tema “Training for Journalist: Membaca APBN 2017”.

Tahun 2016 pemerintah mengumumkan perubahan APBN 2016 pada bulan Maret 2016. Perubahan tersebut mengakibatkan adanya penurunan anggaran pada beberapa pos dalam APBN 2016, seperti pada pos anggaran penerimaan negara dan pos anggaran belanja negara. Pada APBN 2016, pos anggaran untuk penerimaan negara sebanyak Rp 1.822,5 triliun berubah menjadi Rp 1.786,2 triliun pada APBNP 2016. Sementara itu, pos anggaran belanja negara berubah menjadi Rp2.082,9 triliun pada APBNP 2016 yang sebelumnya sebanyak Rp2.095,7 triliun pada APBN 2016. Meskipun anggaran pada pos-pos tersebut telah diturunkan pada APBNP 2016, tetapi realisasi dari APBNP 2016 tidak sesuai target yang dianggarkan.

Realisasi belanja APBN 2016 hanya mencapai 89,3 persen atau sebesar 1.859,4 triliun. Sementara itu, realisasi penerimaan pada APBN 2016 hanya mencapai 86,88 persen atau sekitar Rp 1.551,8 triliun. Penerimaan tersebut tidak terlepas dari keberhasilan program amnesti pajak yang mampu meraup uang tebusan sebesar Rp 100 triliun lebih. Realisasi penerimaan ini tegolong baik, sebab meningkat sebesar 4 persen lebih jika dibandingkan dengan penerimaan negara di tahun sebelumnya.

Terkait realisasi indikator-indikator ekonomi makro pada tahun 2016, realisasi terendah terdapat pada realisasi tingkat inflasi. Asumsi dasar ekonomi makro APBN 2016 terkait tingkat inflasi sebesar 4 persen, tetapi realisasi dari inflasi hanya mencapai 3,02 persen. “Rendahnya pencapaian tersebut salah satunya disebabkan karena stabilnya harga bahan-bahan komoditas dan harga barang yang diatur oleh pemerintah. Selain itu, rendahnya daya beli masyarakat ikut mengindikasi rendahnya inflasi di tahun 2016. Hal ini yang kemudian juga memperlambat pertumbuhan ekonomi yang mana pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya mencapai 5 persen atau lebih rendah dari perkiraan,” ujar Akbar.

Sementara itu, nilai tukar rupiah mengalami penguatan yang cukup tajam jika dibandingkan dengan asumsi awal yaitu sebesar 13.307. “Tidak heran jika Presiden Jokowi mendapat “apresiasi” dari Bloomberg terkait stabilitas rupiah yang bisa dijaga sepanjang tahun 2016 lalu,” tambahnya.

Pada tahun 2016 pemerintah kembali menyusun APBN 2017 dengan tema “APBN yang Lebih Kredibel dan Berkualitas di Tengah Ketidakpastian Global”. Asumsi dasar ekonomi makro tahun 2017 yang dipakai dalam menyusun APBN 2017, antara lain: pertumbuhan ekonomi sebesar 5,1 persen, inflasi 4,0 persen, tingkat bunga SPN 3 bulan sebesar 5,3 persen, nilai tukar rupiah Rp13.300 per US$, harga minyak US$45 per barel, lifting minyak 815 ribu bpd, dan lifting gas sebanyak 1.150 MPOEPD.

Asumsi tersebut tidak lain didasari pada kondisi perekonomian global. Jika dibandingkan dengan tahun 2016, realisasi pertumbuhan ekonomi yang meleset dari perkiraan menyebabkan pemerintah saat ini hanya menargetkan 5,1 persen lebih rendah dibandingkan dengan asumsi pada APBNP yang mencapai 5,3 persen. Akbar menyebutkan rendahnya target tersebut tidak lain salah satunya bisa disebabkan belum pulihnya perekonomian global dan lesunya harga komoditas. Sebab, Indonesia masih sangat bertumpu pada sektor komoditas. Akbar menambahkan, ketidakpastian perekonomian Uni Eropa bisa ditandai dengan adanya fenomena Brexit yang bisa memberi efek lanjutan pada perekonomian di negara lainnya termasuk di Indonesia.

Sementara itu, inflasi ditargetkan menjadi 4 persen di tahun 2017 setelah sebelumnya inflasi di Indonesia tergolong rendah yaitu 3,02 persen. Beberapa hal yang bisa mendorong kenaikan inflasi dari sisi internal diantaranya adalah kenaikan administered price seperti pergerakan harga komoditas energi yang sekarang cenderung kembali naik serta gangguan produksi dan pasokan pangan.

Rata-rata harga minyak mentah diperkirakan hanya mencapai 45 USD/barel. Harga tersebut masih tergolong rendah. Bisa jadi faktor yang mendorong pemerintah menetapkan harga tersebut tidak lain adalah karena adanya disinsentif untuk meningkatkan produksi minyak oleh karena adanya ketersediaan sumber energi alternatif. Selain asumsi-asumsi tersebut, lining mintak dan litting gas diperkirakan akan mencapai 815 ribu barel.hari dan 1.150 MPOEPD. Adapun rupiah diperkirakan stabil di nilai 13.300/dolar oleh karena pemerintah diperkirakan bisa mengendalikan capital ougflow. Akbar memperkirakan hal ini bisa jadi karena akan masuknya sejumlah uang yang cukup besar hasil dari repatriasi yang kemudian dapat mendorong pembangunan infrastruktur di Indonesia.

Mengacu pada asumsi-asumsi yang ditetapkan dalam APBN 2017, pemerintah tampak hendak melakukan kebijakan fiskal yang ekspansif. Hal ini diindikasikan melalui defisit anggaran yang ditargetkan mencapai 2,41 persen terhadap PDB yang secara nominal cukup tinggi yaitu mencapai Rp 330 tirliun. Penerimaan negara ditargetkan mencapai Rp 1.750 triliun. Adapun belanja ditargetkan bisa mencapai Rp 2080,5 triliun.

Jika melihat postur anggaran di tahun ini, pemerintah hendak fokus dalam membangun daerah. Hal ini dapat dilihat komponen transfer ke daerah dan dana desa yang hampir mencapai l/3 dari total belanja yaitu sebesar Rp 764, 9 triliun. Selain itu, tidak tanggung pemerintah di tahun 2017 menganggarkan belanja infrastruktur sebesar 18,6 persen dari belanja keseluruhan atau sekitar Rp 380 triliun.

“Rasanya pemerintah di tahun 2017 memiliki komitmen yang sangat tinggi dalam memacu pembangunan infrastruktur dan mengurangi kemiskinan serta kesenjangan antarwilayah. Hal ini tercermin dari postur anggaran negara tahun ini. Namun demikian, pemerintah harus cermat dalam pelaksanaannya. Sebab, alokasi belanja yang tergolong besar ini tentunya harus diiringi dengan penerimaan untuk menopang kebutuhannya. Jangan sampai pemerintah mencetak sejarah di tahun 2017 yang defisit anggarannya melampaui ketentuan perundang-undangan,” ungkap Akbar.

Terkait anggaran subsidi energi, pada APBN 2017 pemerintah menganggarkan sebanyak Rp77,3 triliun. Pemerintah menargetkan sebanyak 26 juta rumah tangga miskin dan 2,3 juta usaha mikro dapat menikmati subsidi BBM dan LPG tabung 3kg. Pemerintah menerapkan pola distribusi tertutup/targeted (by name by address) yang dilakukan secara bertahap untuk merealisasikan target tersebut. Selain itu, subsidi listrik sebanyak Rp4,0 triliun diberikan kepada 19,1 juta dengan daya R1/450 VA dan 4,05 juta dengan daya R-1/900 VA. Sementara, bagi pelanggan rumah tangga mampu dengan daya 900 VA, tarif akan disesuaikan secara bertahap 3 kali per 2 bulan. (pam)

LEAVE A REPLY