Memeta Kinerja Sanggata Mengelola Ladang Tua

0
158
Share on Facebook
Tweet on Twitter
foto: ist

Jakarta, www.geoenergi.co.id – Rendahnya harga minyak mentah di pasar dunia sejak pertengahan 2014 menjadi tantangan terberat bagi seluruh perusahan yang bergerak di bisnis hulu minyak dan gas bumi, tidak terkecuali Pertamina. Hal tersebut, tercermin lewat kebijakan rekalkulasi seluruh rencana kerja (RK), khususnya yang berkaitan dengan anggaran produksi dan investasi. Salah satu dampak dari langkah efisiensi super ketat yang dilakukan management perusahaan adalah berkurangnya kegiatan pengeboran baru di seluruh wilayah kerja (WK) Pertamina. Padahal, jamaknya aktifitas hulu kegiatan pegeboran merupakan senjata utama untuk meningkatkan produksi dan menambah cadangan.

Meski begitu, Direktorat Hulu Pertamina selaku holding dari anak-anak perusahan Pertamina yang bergerak di bisnis hulu (APH) berhasil mengawal produksi tetap prima. Kinerja dimaksud dapat dibaca lewat angka-angka capaian produksi yang terus meningkat, meski anggaran minim. “Produksi minyak Pertamina pada 2016 lalu berada di level 311,56 ribu barel minyak perhari (MBOPD), atau meningkat 11,9 persen dibanding produksi 2015 (sekitar 278,37 ribu MBOPD). Sementara produksi gas sebesar 1.960,93 juta kaki kubik per hari (MMSCFD), atau 3,1 persen di atas perolehan sepanjang 2015 (1.902,27 MMSCFD),” papar Syamsu Alam, Direktur Hulu Pertamina.

Menurut Alam lagi, jika digabung maka produksi migas Pertamina pada 2016 lalu rata-rata 650,01 ribu barel setara minyak perhari (MBOEPD). Capaian itu, meningkat 7,1 persen dibanding 2015, sebesar 606,7 MBOEPD.

Selanjutnya, Alam menambahkan bahwa keberhasilan dimaksud bisa diraih berkat kerja cerdas yang dilakukan jajaran hulu Pertamina, baik di Kantor Pusat maupun di lapangan-lapangan produksi seluruh pelosok tanah air. Dengan mengandalkan berbagai inovasi dan kreatifitas dalam merawat sumur-sumur tua, serta mengoptimalkan utilisasi fasilitas produksi ternyata kenaikan produksi pun berhasil dipetik.

“Sisi baik dari anjloknya harga minyak dunia adalah, untuk bisa survive kami dipaksa supaya mengubah cara bekerja yang tadinya at any cost menjadi cost effectiveness. Terbukti, para insan hulu Pertamina mampu melakukannya,” kata Alam mengapresiasi jajarannya.

Sebagai contoh, salah satu ujung tombak yang mampu meningkatkan produksi adalah PT Pertamina EP (PEP) Asset 5 Sangatta Field. Dari sisi geografi, letak lokasi lapangan sepuh, ini berada jauh di wilayah provinsi Kalimantan Timur. Pada 2016 lalu, produksi sumur-sumur tua yang dikelola PEP Sangatta Field mampu melewati target, yaitu minyak sebanyak 1.691 BOPD, (target 1.657 BOPD). Sedangkan produksi gas berada pada posisi 2,74 juta kaki kubik per hari (MMSCFD), target 2,4 MMSCFD yang didominasi oleh gas dari Area Semberah, sebesar 2,35 MMSCFD.

Pengelolaan Lapangan Semberah diserahkan kepada Sangatta Field pasca terminasi dari TAC EMP Semberah pada 16 November 2015 lalu. “Bergabungnya Area Semberah memberikan suntikan lifting migas yang cukup signifikan kepada Sangatta Field di tengah nihilnya kegiatan pengeboran baru,” jelas Afwan Daroni, Sangatta Field Manager. Lebih jauh Afwan mengatakan, kontribusi yang cukup signifikan juga diperoleh dari pekerjaan-pekerjaan sasaran rendah seperti produksi existing yang mencapai 1,556 BOPD atau 110% dari target sebesar 1,416 BOPD.

Afwan juga menjelaskan bahwa lewat kegiatan reopening dan reaktivasi sumur berhasil menambah gain produksi sebesar 12 BOPD. “Sebenarnya dalam target Rencana Kerja Anggaran Perusahaan (RKAP) 2016, Sangatta Field tidak dibebani oleh target reaktivasi sumur. Namun, melihat adanya peluang menambah produksi, management memutuskan untuk melakukan reaktivasi pada 9 sumur suspend, yaitu sumur-sumur ST-002, ST-145, ST-157, ST-081, ST-008, ST-153, ST-155, ST-054, dan ST-118,” terang Afwan.

Sedangkan untuk pekerjaan optimasi produksi, sepanjang 2016 Sangatta Field telah menyelesaikan 64 pekerjaan berupa pump job dan well services. Kemudian dilakukan juga pekerjaan work over sebanyak 12 sumur, namun hanya 4 sumur yang menghasilkan minyak yaitu ST-177 (173 BOPD), ST-004 (37 BOPD), SBR-05 (173 BOPD), dan SBR-06 (163 BOPD). Keberhasilan lain yang juga cukup memuaskan adalah upaya menahan laju natural decline rate menjadi 33.86% per tahun dari perkiraan awal sebesar 42.36%. Hal ini tak lepas dari efektifnya strategi menekan low & off hingga 3.29%, dengan fast respon. Yaitu, kecepatan, kesigapan, dan ketepatan para engineer dalam mengatasi permasalahan-permasalahan yang mengakibatkan produksi sumur menjadi turun atau bahkan mati. “Langkah ini berdampak padapotensi penurunan produksi bisa ditekan seminimal mungkin, terutama untuk permasalahan surface dan artificial lift,” imbuh Afwan.

Berbagai keberhasilan yang dituai oleh jajaran Sangatta Field dalam mendongkrak produksi, sejalan dengan kebijakan efisiensi yang diambil oleh Direksi PEP pusat. Diantaranya, pada 2016 Sangatta Field sudah mulai mengoperasikan cementing unit sendiri. “Dengan cementing unit sendiri, itu diperkirakan dapat menghemat biaya produksi sebesar 140.000 USD per tahun,” kata Afwan.

Kemudian, ia juga menambahkan upaya mengurangi konsumsi bahan bakar solar dengan memanfaatkan gas terproduksi dari annulus sumur menggunakan gas kompresor mini. Pemanfaatan gas tersebut menghemat biaya sebesar Rp350.000.000,- per bulan. Sementara dari sisi man power, pada 2016 manajemen membatasi pekerjaan overtime dengan cara selektif ketat pada pekerjaan yang berpotensi menimbulkan biaya lembur. Dari kebijakan ini dapat ditekan biaya sebesar Rp 15 miliar. “Overall, dari berbagai efisiensi yang dilakukan, sepanjang 2016 Sangatta Field mampu menurunkan biaya produksi menjadi US$ 26.2 per barel dari US$ 41.83 per barel pada 2015,” pungkas Af­wan mengakhiri perbincangan (pam)

LEAVE A REPLY