Kasus Freeport dan Arah Reformasi Perpajakan

0
328
Share on Facebook
Tweet on Twitter
ilustrasi: ist

Jakarta, www.geoenergi.co.id – Kasus Freeport yang kembali menghangat membawa berkah, bahwa kita diajak untuk membiasakan diri memahami tiap peristiwa secara komprehensif. Meski sempat dibumbui wacana nasionalisme dan ketegangan politik, toh Pemerintah Indonesia dan manajemen Freeport tetap memprioritaskan penyelesaian melalui jalur negosiasi, demi tercapai kesepakatan yang menguntungkan kedua pihak.

Ini adalah momen meletakkan dasar-dasar reformasi fiskal yang bertumpu pada prinsip 3C (certainty, clarity, consistency), sehingga menjamin kesinambungan fiskal dan investasi, demikian diutarakan Yustinus Prastowo, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) kepada wartawan, Rabu (22/3).

“Melemahnya harga minyak dunia dan lesunya aktivitas eksplorasi hulu migas menyebabkan rendahnya penemuan cadangan baru (reserve replacement ratio) yang berpotensi memperburuk masa depan industri migas Indonesia. Produksi amat bergantung pada beberapa sumur tua yang umumnya merupakan bagian PSC tahun 70-an dan 80-an. Di sisi lain, kita juga menghadapi tantangan perebutan modal atau investasi yang semakin terbatas dengan negara-negara penghasil minyak lainnya sehingga kompetisi penarikan investasi menjadi semakin ketat,” katanya.

foto: istimewa
foto: istimewa

Hal di atas menuntut integrasi kebijakan yang menjadi terciptanya 3C (certainty, clarity, consistency) di bidang fiskal, imbuhnya. Karena keputusan investasi juga bergantung pada kebijakan pro-bisnis, lingkungan bisnis yang kompetitif, stabilitas politik dan regulasi, kejelasan dan kepastian hukum, serta kebijakan fiskal yang menjadi faktor penentu besaran investasi dan tingkat imbal hasil (rate of return). Faktanya, masih terdapat beberapa disinsentif fiskal yang dirasakan oleh industri hulu migas seperti pembatasan cost recovery; pengenaan pajak tidak langsung yang eksesif; intervensi aturan di luar kontrak, inefisiensi mekanisme reimbursement PPN, cost of administration yang tinggi, dsb. Salah satu masalah utama adalah ketiadaan ketentuan assume and discharge yang menciptakan ketidakstabilan dan ketidakpastian hukum (stabilization clause).

Yustinus membeberkan bahwa serupa dengan kondisi di industri bisnis hulu migas, kasus yang menarik perhatian publik saat ini adalah dinamika PT Freeport Indonesia (PTFI) yang berawal pada diterbitkannya PP No. 1/2017 yang mengatur bahwa: 1) Pemegang IUPK, KK dan sejenisnya wajib melakukan divestasi saham secara bertahap sehingga pada tahun kesepuluh mencapai paling sedikit 51%; 2) Jangka waktu permohonan perpanjangan IUP/IUPK paling cepat 5 tahun sebelum berakhirnya izin usaha; 3) Mewajibkan pemegang KK mengubah izinnya menjadi IUPK.

Kemudian terbit Permen ESDM No. 5/2017 yang mengatur bahwa: 1) Pemegang KK Mineral Logam dapat mengekspor hasil pemurnian setelah memenuhi batasan minimum pemurnian sebesar 99%; 2) Pemegang KK Mineral Logam, IUP/IUPK, dan pihak lain mengekspor konsentrat ke luar negeri untuk 5 tahun kedepan sejak diterbitkannya Permen ini dengan syarat (termuat pada Permen ESDM No. 6/2017): a) mengubah KK menjadi IUPK, b) memberikan komitmen pembangunan smelter, c) membayar bea keluar maksimum 10% sesuai progres fisik dan realisasi keuangan pembangunan smelter; 3) Ekspor dapat dilakukan setelah mendapat rekomendasi ekspor dari dirjen atas nama menteri.

Pada prinsipnya, investor (baik industri migas maupun PTFI sebagai contoh di industri pertambangan) membutuhkan jaminan kepastian akan iklim bisnis dan investasi di masa mendatang (fiscal stabilization clause) karena akan berinvestasi dalam jumlah yang sangat besar dan jangka waktu yang panjang. Klausul ini berarti kebijakan fiskal berperan sebagai instrumen yang mampu memberikan kepastian hukum, mendukung iklim investasi, mendorong pertumbuhan ekonomi dan peningkatan produktivitas, konsisten dan stabil, melalui administrasi yang sederhana, mudah dilaksanakan dan murah (cost of compliance yang efisien). Pertimbangannya adalah sektor ini membutuhkan investasi yang sangat besar dan jangka waktu yang panjang sehingga memiliki potensi risiko yang tinggi (high risk).

Salah satu poin penting yang menjadi perbedaan pendapat antara Pemerintah dan PTFI adalah klausul nail down vs prevailing. Pemerintah berpegang pada mandat UU Minerba, bahwa seluruh klausul perpajakan di rezim perijinan (IUP/IUPK) adalah prevailing, yaitu mengikuti perubahan ketentuan yang berlaku (dinamis). Sedangkan PTFI tetap meminta sistem nail down, yaitu peraturan yang berlaku adalah peraturan saat kontrak ditandatangani atau perijinan diberikan (statis).

Dalam konteks Fiscal Stabilization Clause, tuntutan PTFI dapat dipahami sebagai hal yang wajar. Sistem nail down juga tidak tepat jika dipahami semata-mata sebagai keuntungan perusahaan karena tarif yang rendah, karena dalam konteks Kontrak Karya, perusahaan justru membayar PPh 35%, jauh di atas tarif yang berlaku yaitu 25%. Terhadap jenis pungutan negara lainnya, bahkan pada 2014 tercapai kesepakatan untuk menaikkan tarif royalti dan membayar bea keluar. Di sisi lain, Pemerintah perlu mendapat jaminan bahwa proyek yang dijalankan menguntungkan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Di titik inilah Pemerintah dan PTFI memiliki ruang negosiasi yang terbuka lebar dan saling menguntungkan.

Pemerintah tetap dapat memberikan pengecualian berupa pemberlakuan sistem nail down bagi perusahaan yang berinvestasi dalam jumlah signifikan dan dalam jangka waktu panjang, dan tetap membuka ruang negosiasi bagi penyesuaian tarif pungutan negara apabila terjadi perubahan kondisi ekonomi yang membaik dan perubahan kebijakan yang lebih kondusif. Hal ini juga tidak bertentangan dengan Pasal 169 UU Minerba dan bahkan selaras dengan praktik terbaik di dunia internasional tentang fiscal stabilization clause.

Dengan demikian, kita dapat mencapai solusi konkret yang lebih komprehensif, tanpa perlu memperhadapkan kepentingan nasional dengan kepentingan bisnis, karena keduanya adalah dua sisi yang sama pentingnya bagi pembangunan nasional. Hal ini sekaligus sebagai bentuk dukungan bagi persiapan BUMN yang kelak akan menjadi pihak yang mengusahakan pertambangan, agar terlindungi oleh kebijakan Pemerintah, mempraktikkan good governance, dapat dijamin kesinambungan bisnisnya, dan pengusahaan ini menjamin bahwa kemakmuran itu dinikmati seluruh rakyat Indonesia. (pam)

LEAVE A REPLY